13 April 2010

Mimpi Itu...

Saat itu kelas 3 SMA, aku di vonis buta warna.

Ada perasaan kecewa dan marah, salah siapa? Salah aku apa? Mengapa harus terjadi padaku? Padahal mimpiku adalah menjadi ahli kimia, memakai jaslab putih, melakukan percobaan, berada dalam laboratorium, akh! Kandas semuanya. Mengapa aku harus mengalaminya?

Terpuruk, itu mungkin yang tepat menggambarkan betapa aku kecewa saat itu. Melihat masa depan seperti melihat bayang-bayang, mengikuti tapi tak sampai. Tidak aku sadari, ternyata yang paling merasa sedih melihatku seperti ini adalah, Ayahku. Yang setelah aku tahu, ternyata beliau pun buta warna.

Dielusnya rambutku saat itu, saat aku menangis meratapi takdirku. Tak ingin aku melihatnya, bukan perasaan marah, tetapi malu. Beliau membisikkan sesuatu, “Nok, tidak ada takdir yang tidak baik” katanya, membuat tangisku makin membuncah. Ada perasaan berat dan bersalah yang tersirat dalam kata-katanya. Inginku berbalik memeluknya, tapi setelah ku sadar, beliau telah berlalu meninggalkanku. Hanya punggungnya yang kekar dapat kulihat, ditutupnya pintu kamarku, dan saat itu aku lihat beliau menyusut matanya, aku telah membuatnya menangis.

--

Aku telah siap keluar kamar, walau mataku masih sembab dan bengkak. Ayahku menyambut di ruang makan. Aku tersenyum, aku tak ingin membahas lagi siapa yang salah dan mengapa aku buta warna. Tapi tiba-tiba Ibuku berkata, “Nok, tidak ada yang sia-sia, Kimia bukan segalanya” katanya lembut. Aku berusaha tegar, perlahan-lahan pikiranku melucuti baju putih jaslab, meninggalkan labiratorium, tidak menyentuh labu reaksi, dan menjadi manusia biasa. Aku tersenyum. Segera aku cium tangan Ibu dan Ayahku, “Nok, minta maaf Bu.. Yah… Nok tahu, Tuhan Maha Tahu, dan Nok akan lebih bahagia dengan takdir ini” Kataku tersenyum.

Ayahku berkaca-kaca, Ibu memelukku erat. Ya! Aku akan lebih bahagia dengan takdir ini. Tidak ada yang sia-sia! Lantangku dalam hati.

--

Hari itu, aku ingin menemuni Pamanku, seorang guru Akuntansi/Ekonomi, mungkin aku bisa berkonsultasi tentang jurusan apa yang bias aku ambil untuk meneruskan studiku, setelah Kimia tidak dapat aku masuki.

Aku bermaksud menyebrang, ketika ada seseorang baru saja turun dari angkutan umum. Dengan tongkatnya, dia meraba jalanan. Aku melihatnya terkesima. Dia merogoh sakunya, kemudia memberikan uang lima ribuan kepada sopir angkutan. Lalu berbalik dan tetap meraba jalan dengan tongkatnya.

Dia terlihat kebingungan.

“Mau kemana, Teh?” sapaku.

“Ini Jalan Pahlawan, kan? Mau ke Gedung Imigrasi, nyebrang, ya?” katanya tegas.

“Ya, teh ,.. nyebrang, bareng aja, ya…” Lanjutku. Dia kemudian melipat tongkatnya, dan memegang lenganku. Kami menyebrang.

“Terimakasih ya..” Katanya sambil tersenyum.

“Sama-sama, teh..” Balasku. “mau ngurusin apa teh ke imigrasi?” aku bertanya penasaran.

“Ini mau konsultasi, saya dapat tawaran beasiswa di Jerman” katanya.

--

Tiba-tiba ada perasaan malu. Melihat Teteh yang tuna netra tadi, bisa lebih tegar dengan kekurangannya. Bisa lebih mensyukuri apa yang dipunyanya, dan mengoptimalkan apa yang telah Tuhan anugrahkan kepadanya.

“Bimbingan dan Konseling!” Kata Pamanku.

“Jadi guru BK??” aku kaget mendengarnya. Menjadi guru yang paling dihindari oleh siswa?

“Iya, kenapa???” Pamanku tak kalah kagetnya. “Bimbingan dan Konseling, Nok! Bimbingan dan Konseling!” Ulang Pamanku.

Aku mengangguk. Bukan mengangguk pasti atau yakin, tapi aku akan mempertimbangkannya.

--

Makin mendekati waktu pelaksanaan SPMB. Dengan segala cara aku mempersiapkannya. Tekadku bulat, aku tidak akan bertanya jawaban pada siapapun, aku akan berusaha sendiri. Saatnya menentukan hidupku sendiri. Iya! Saat SMP atau SMA, bekerja sama dengan teman dalam ujian sering aku lakukan, tapi sekarang, aku ingin berkah mengerjakan ujian dengan jujur. Aku optimis dalam hati.

Aku mengambil IPC. Berarti dengan 3 pilihan. Pilihan pertama, pendidikan Matematika UPI, kedua Bimbingan dan Konseling UPI dan terakhir Pendidikan Kewarganegaraan UPI. Bulat tekadku untuk menjadi guru. Dengan Bismillah, aku mulai membulati lembar jawaban. Tetap, optimis dibenakku, walau kimia tidak lagi menjadi acuanku. Seperti yang diputuskan pacar, Kimia akan aku lupakan, dia masa laluku.

--

Besok pengumuman hasil SPMB tampaknya begitu cepat sampai. Hari ini aku browsing internet untuk melihat pengumuman lebih awal. Dan ternyata hasil internet tidak menunjukkan bahwa aku diterima atau lolos SPMB. Aku pasrah, walau hatiku kecewa. Tampak tidak ada lagi masa depan dihadapanku, lagi-lagi seperti mengejar bayangan. Lunglai aku pulang ke rumah. Di rumah Ayah dan Ibuku tampak harap-harap cemas menanti. Aku katakan, tidak lolos. Mereka diam. Aku lebih tegar. Divonis buta warna lebih hebat getarannya dari pada tidak lolos ujian. Aku pasrah. Dan aku lebih tahu dari kemarin, bahwa tidak ada yang sia-sia, dan takdir Tuhan itu tidak ada yang tidak baik. Tapi tetap rasa sedih menimpa hati ini, aku menangis dalam tidurku.

--

Pagi datang. Ibu membangunkanku. Beliau telah membeli koran yang isinya pengumuman peserta yang lolos SPMB. Aku bangun, masih dengan mata yang merah dan bengkak. Dengan membelalakan mata ini, aku menemukan namaku. Yaa Allah…hamba percaya padaMu, hamba yakin Kau selalu berikan yang terbaik untuk hamba. Ibu memelukku, erat sekali! Air mata kebahagiaannya membasahiku lagi. Aku ingin segera memberitahu Ayahku, tapi beliau ternyata telah berangkat bekerja. Yaa Allah… apa yang ada dipikirannya saat berangkat kerja tadi?

Sore hari aku menanti Ayah pulang. Ketika beliau sampai rumah, Aku meminta semua orang dirumah untuk diam. Aku mendekatinya, kuberikan senyum, kuperlihatkan daftar nama-nama peserta yang lolos SPMB, dari awal sampai tiba dibagian yang sebelumnya kuberi tanda. Lagi-lagi aku melihat Ayahku berkaca-kaca. Aku benar-benar bahagia.

Dan ternyata Bimbingan dan Konseling. Bimbingan dan Konseling!! Dan aku mahasiswa.

--

Empat setengah tahun aku jalani sebagai mahasiswa. Walaupun tidak pernah mendapatkan prestasi yang membanggakan, tapi aku pernah menduduki salah satu jabatan terpenting dijajaran kemahasiswaan, wakil ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa, pernah juga memimpin mahasiswa menentukan Presidennya, atau ketua BEM UPI. Pernah juga ikut aksi menolak ketetapan pemerintah, pernah juga terlibat cinta lokasi, pernah juga membuat dosen jengkel, pernah juga merasa sakit hati, pernah juga merasakan nilai E dan harus diulang pada semester berikutnya, pernah juga mendapat nilai terbaik dikelas, pernah juga merasakan indahnya kebersamaan dengan sahabat, pernah juga ... pernah juga ... rasanya lengkap selama empat tahun setengah itu.

Terkadang, aku memflashback saat kelas 3 SMA. Saat merasa mimpiku kacau balau, dan tertatih untuk menyusun mimpi baru. Merasakan mata Ayah berkaca-kaca karena kecewa, merasakan lagi air mata Ibu tumpah di pipiku... Akh! Ternyata benar, tidak ada takdir yang tidak baik, dan tidak ada ketentuan yang sia-sia. Aku di wisuda!!

--

Tidak kurang sebulan setelah di wisuda, aku mulai bekerja di sebiah lembaga besar sebagai Konselor, seorang konsultan pendidikan di yayasan yang bertanggung jawab terhadap perkembangan psikologis siswa dari mulai tingkat playgroup sampai jenjang D3. Semuanya aku jalani dengan berat, ya pada awalnya. Tetapi lambat laun aku mulai bisa beradaptasi dan bekerja dengan caraku. Aku mensyukuri pekerjaanku. Aku selalu ingat teteh tunanetra yang aku temui sekitar 5 tahun lalu. Yang akan mengurusi surat-surat di kantor imigrasi untuk beasiswanya ke Jerman. Dengan kekurangannya dia berusaha. Aku selalu ingat itu jika aku merasa terpuruk dan terlalu sulit dalam menyelesaikan tugasku.

--

Orang-orang ramai membicarakan tes CPNS. Ayahku pun tak kalah ramainya, beliau mencari tahu informasi yang berkaitan dengan itu. Rekan-rekanku pun tak kalah, mereka bertukar informasi. Saat itu aku tidak begitu tertarik. Baru 6 bulan aku menjadi konselor di lembaga ini, dan aku menikmatinya, benar-benar menikmatinya.

Tetapi ada perasaan penasaran dan menjadi sebuah keharusan, aku harus mencoba tes ini. Setelah aku amati, peluang di Kabupaten Bandung lebih banyak. Dengan bismillah, aku mencoba memasuki peluang itu.

--

Tepat 7 bulan aku menjadi konselor, pengumuman tes CPNS membuatku gugup. Banyak strategi yang aku siapkan, jika tidak lolos ataupun lolos.

Dan aku membuat mata Ayah berkaca-kaca dan membuat air mata Ibu jatuh lagi di pipiku, aku Lolos CPNS.

--

Sekarang, berjalan 3 bulan aku mengabdi menjadi abdi negara sebagai guru bimbingan dan konseling. Belum banyak yang bisa aku lakukan, dan aku masih punya mimpi untuk memajukan anak bangsa. Mimpiku kini bukan lagi bayangan, ia menjelma menjadi makna-makna kehidupan.

Dan aku yakin, tanah indah yang jauh disana akan memberi cahaya pada mimpi-mimpiku.

Terimakasih Tuhan...

Terima kasih atas semua anugrah yang telah Engkau berikan...

Aku tau, ini bukan saja anugrah, tetapi ujian. Ujian apakah aku bisa tetap istiqomah?? InsyaAllah...

--

”Sang Pemimpi tetaplah Berdiri, tetaplah berlari, tetaplah tersenyum dan berbakti”

--

Pasirjambu, 14 April 2010

Tidak ada komentar: