16 Januari 2010

Pilihanku..

Aku terima, ketika bait-bait cinta telah dideklamasikan

Meskipun ketika di sana dirimu berdiri -masih ragu- untuk menjemputku

Dan aku -pun masih ragu- ketika harus duduk tertunduk menantimu


Itulah, mengapa aku sertakan Tuhan dalam bait-bait cinta

Bait cinta yang dekapkan hatimu padaku, karena ia telah terdeklamasikan


Aku mencarimu, saat ini...

Mencari harapan yang selalu ada pada dentingan bel pertanda dirimu datang

Tapi tak kunjung dirimu datang, angkuh!

Tak mengertikah apa kata hatiku??


Aku akan diam dan kembali tertunduk, menantimu kembali

Dan tak apalah sesekali mengintip di bawah jendela

Berharap dirimu datang dengan sekuntum harapan yang merekah mekar


Pilihanku adalah dirimu -walau masih ragu-

Dan akan tetap aku sertakan Tuhan dalam bait-bait puisiku

Karena sebenarnya tak pernah aku tahu siapa dirimu

Yang berdiri gagah di sana...


Aku tak mengenal lagi dirimu, saat ini...

Ketika kau sangat angkuh, melewati jendela depan hatiku

Tak masuk untuk melihatku, yang sedang duduk tertunduk..


Pernahkah terpikir, aku ini perempuan?

Pikiranku adalah hatiku, dan saat kau pergi hatiku pun pergi

karena bait-bait puisi telah tertanam dalam hatimu, punyaku..


Aku ragu,

Karena Ku yakin disana pun Dirimu ragu,

Tapi ini pilihanku, tetap duduk menunduk

Menantimu datang menjemput,

dan Tuhaan... jika bukan dia, tunjukkanlah siapa yang terbaik,

agar tidak terlalu lama aku buang waktu untuk duduk tertunduk

menantinya, walau dia pilihanku...



10 Januari 2010

Baiklah, Aku Pulang!!

Aku menatapnya berkali-kali. Dia tetap menunduk. Entah apa yang dirasakannya. Entahlah apa lagi yang dia rasakan. Inisiatif aku tinggalkan saja meja café tempat kami berbincang. Tak apalah, mungkin banyak taksi yang bisa aku sewa untuk sampai rumah. Akupun segera memasukan handphone dan dompetku. Lalu ku selempang tasku.

“Aku pergi!” kataku, sambil meninggalkannya sendiri. Tidak seperti di sinetron-sinetron, dia tidak mencegahku. Baiklah! Aku pulang.

**

Mas Iman, calon tunanganku, dia masih duduk tertunduk disana. Lagi-lagi aku tidak tahu apa yang dipikirkannya.

Pertemuan di café tadi tidak sengaja. Aku menunggu sahabatku Nuna disana, ada beberapa pekerjaan yang berhubungan dengan butik kami yang akan kami bahas. Setelah sampai di café, aku mendapat kabar, Nuna mendapat musibah, Kakeknya meninggal, dan Nuna langsung ke Jogja, jadinya Nuna tidak dapat menemuiku.

Dan ketika aku hendak pulang, aku lihat mobil Mas Iman terparkir. Karena penasaran, aku mencarinya di dalam. Dan aku mendapatinya sedang berbincang dengan seorang perempuan, yaa… namanya Maya, teman kuliah Mas Iman.

Karena tidak ingin mengganggu, aku menunggunya, sambil mengintai mereka. Alhamdulillah, aku selalu berpikiran positif tentang mereka, setidaknya 3 kali aku memergoki mereka bersama. Dan banyak informasi yang menyebutkan bahwa Mas Iman dan Maya ada hubungan, sering berlibur bersama dan tampak mesra. Dan tidak pernah aku tanyakan pada Mas Iman, aku mencari bukti, aku tidak mau persiapan pertunangan yang tinggal seminggu lagi jadi kacau.

Nuna selalu mendesakku untuk segera mencari tahu tentang Mas Iman dan Maya.

“Lo tuh ya… udah banyak bukti, Yuke! Lo mau kalian udah jauh ternyata si Iman itu engga baik??” Nuna selalu mengingatkan plus menakut-nakuti. Hmm…terkadang aku berfikir sejalan dengan Nuna. Tetapi, rasa hormatku pada Mas Iman dan keluarganya yang membuatku berfikir, “O, mungkin ada sesuatu yang harus di selesaikan dengan Maya”. Aku tidak mampu menuduh Mas Iman selingkuh. Dia tidak mungkin seperti itu.

Di café tadi aku menunggu mereka. Aku pesan capucinno hangat untuk menemaniku. Agak lama juga mereka berbincang, sesekali mereka tertawa lepas, dan yang aku kaget, Mas Iman merokok, ia tidak pernah merokok di depanku, dan memang setahuku dia tidak merokok. Aku terus mengamati mereka. Mas Iman tampak tidak ada beban bersama Maya, ia bebas.

Mungkin kalau ada Nuna disini, dia akan langsung menghampiri Mas Iman dan Maya. Dan itupun yang ingin aku lakukan. Tapi, aku masih ingin memperhatikan mereka. Mungkin, sekitar 60 menit aku disini, Maya tampak beranjak meninggalkan mejanya. Mas Iman pun tampak membereskan kemejanya. Hmm, aku tak mau kehilangan waktu, aku bertindak cepat. Aku telpon Mas Iman, beruntung Mas Iman langsung menerima telponku.

“Ya …” katanya menyambut telponku.

“Lagi dimana, Mas?” tanyaku langsung

“Baru selesai meeting nih, Uke dimana??”

Saat itu Maya dengan isyaratnya nampak berkata “Yuke??” pada Mas Iman, dan Mas Iman menggangguk.

“Hmm, lagi nunggu Nuna nii, tapi dia engga datang” jawabku.

Aku lihat Mas Iman dan Maya hendak keluar pintu café.

“Mas, aku dibelakang Mas, Uke mohon Mas persilahkan Maya pulang duluan! Uke ingin bicara dengan Mas!” kataku.

Mas Iman tampak terkejut, Ia mencariku. Tatapan kami berpapasan. “Uke mohon!” kataku memelas.

Lalu entahlah Mas Iman menutup telponnya lalu menarik Maya keluar. Kakiku mulai melemas, aku duduk dan menarik nafas panjang. Sekitar 10 menit berlalu, Mas Iman tidak kunjung menemuiku. Rasanya sedih bercampur, aku merasa tidak berdaya dan dicampakkan. Aku butuh Nuna, dan aku tidak bisa menelponnya sekarang. Aku menangis, rasanya berat sekali.

Tidak lama kemudian, Mas Iman datang. Aku menghapus air mataku. Dan aku berusaha tersenyum. Kami terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa.

“Udah lama dengan Maya disini, mas?” tanyaku akhirnya.

Mas Iman mengangguk. Sesekali dia menatapku. Aku terus berusaha menguasai emosiku. Kalaupun harus marah, aku ingin marah dengan terhormat, tidak seperti orang-orang primitive.

“Aku engga sengaja looh, lihat Mas sama Maya.” Kataku berusaha santai. Ilmu psikologi yang sudah aku geluti empat tahun tidak ingin aku sia-siakan. Aku usahakan semuanya nampak baik-baik saja.

“Kenapa engga langsung nyapa??” Tanyanya.

“Uke takut ganggu” Kataku lagi-lagi santai. Sepertinya air matakupun tidak lagi ingin turun, ia telah membeku. “Kenapa tadi Mas lama banget kesini, apa nganterin Maya pulang dulu ya??” aku menyindirnya.

“Maksud Uke apa?” Dia agak ketus, “Mas ada urusan! Kalau kira-kira tidak penting, kita pulang saja!” katanya.

“Ya, memang Uke tidak pernah penting sih!” lagi-lagi aku tetap menahan intonasiku.

“Maksud Uke apa?” Dia berdiri.

“Uke ingin bicara, Mas.” Kataku, “Penting, jadi Uke mohon Mas tetap disini.” Aku mulai menenangkannya. “Uke engga ingin salah ambil jalan, Mas. Jalan terbaik buat Uke juga buat Mas” aku menghela nafas.

Mas Iman menatapku, aku tetap tenang, padahal di dada berkecamuk, kacau sekali.

“Saat Mas mengenalkan Uke sama keluarga Mas, saat kita merencanakan rencana jangka panjang, dan saat semuanya hampir terwujud, ternyata Tuhan tetap menunjukkan jalan yang benar meskipun sudah sejauh ini.” Kataku. Mas Iman menunduk.

“Hmm, Uke pernah bilangkan Mas, kalau ada apapun yang mas rasakan tentang kita, bilang. Mas tahu, Uke tidak bisa dan tidak ingin marah” aku menarik nafas.

“Tapi Mas tidak bilang, sampai Uke tahu apa yang seharusnya Uke lakukan” kataku.

“Kita putus, Mas.” Aku berkata dengan tegas.

“Maafkan Mas, Ke..” katanya “Tapi Mas mohon, Uke jangan pergi dari Mas, Mas yang salah” katanya menatapku.

“Mas, Uke engga bisa menerima Mas lagi, Uke sudah tahu kok hubungan Mas dengan Maya” lagi-lagi aku tegas.

Mas Iman tampak terkejut.

“dan Uke kan udah bilang, Uke engga ingin ada di jalan yang salah, kalau Mas lebih memilih Maya, Uke akan sangat berlapang dada, Uke yakin semua akan indah pada waktunya”.

Aku menatapnya berkali-kali. Dia tetap menunduk. Entah apa yang dirasakannya, Entahlah apa lagi yang dia rasakan. Inisiatif aku tinggalkan saja meja café tempat kami berbincang. Tak apalah, mungkin banyak taksi yang bisa aku sewa untuk sampai rumah. Akupun segera memasukan handphone dan dompetku. Lalu ku selempang tasku.

“Aku pergi!” kataku, sambil meninggalkannya sendiri. Tidak seperti di sinetron-sinetron, dia tidak mencegahku. Baiklah! Aku pulang.

**

Dan kini aku dalam Taksi, meluncur menuju rumahku. Segera aku siapkan hatiku untuk bicara dengan Papa, tentang Mas Iman dan rencana pertunangan kami.

Aku tahu Papa pasti sangat kecewa, Papa sangat sayang dengan calon mantunya itu, hmm… mantan calon mantu aku rasa sekarang.

Aku tahu, tidak ada pesan yang terlambat dari Tuhan, Tuhan Tahu dengan pasti, apa yang terbaik dan kapan waktunya…



the end

01 Januari 2010

Aku Lagi Suka Lagu Ini...

Waktu Tata cerita putus sama Arman, tiba-tiba lagu ini jadi Hits.
Hmmm, hehhe gitulah.. selalu ada soundtrack dalam setiap kejadian.
dan Sing a Song lagi yuuu...
Karena tingkat kecemasan bisa berkurang klo kita bernyanyi.
Engga peduli suaranya bagus atau engga..

Lagu ini Judulnya Pelan-Pelan Saja, by Kotak.
Nii aku juga post sama grip-nya , hahah,,, duh pengen belajar gitar lagii

intro: C F

C Em F G
ku tahu kamu pasti rasa
C F G
apa yang ku rasa
C Em F G
ku tahu cepat atau lambat
Am Dm G
kamu kan mengerti

C Em F G
hati bila dipaksakan
C F G
pasti takkan baik
C Em F G
pantasnya kamu mencintai
Am Dm E Am
yang juga cintai dirimu
F G
cinta kamu

chorus:
F G C
lepaskanlah ikatanmu
Dm G C Em
dengan aku biar kamu senang
F G C Am
bila berat melupakan aku
F Dm C
pelan-pelan saja

C Em F G
tak ada niat menyakiti
C F G
inilah hatiku
C Em F G
pantasnya kamu mencintai
Am Dm E Am
yang juga cintai dirimu
F G
cinta kamu

chorus:
F G C
lepaskanlah ikatanmu
Dm G C Em
dengan aku biar kamu senang
F G C Am
bila berat melupakan aku
F Dm C
pelan-pelan saja

solo: Am G F E
Am G F E
Am G F

Dm G C
pelan-pelan saja

chorus
F G C
lepaskanlah ikatanmu
Dm G C Em
dengan aku biar kamu senang
F G C Am
bila berat melupakan aku

Dm Em F
pelan-pelan saja
Dm G C
pelan-pelan saja

C F C

F C
pelan-pelan saja



Ceritanya tentang, mmmh... mengajarkan ikhlas pada seseorang yang kehilangan.
heheh

yuuu... sing a song...

Teruntai ...

Ada satu yang menarik, ketika ku baca lagi
Ringkasan yang telah terbagi menjadi serangkaian puisi
Entahlah ada sesuatu,
Yang membuatku -terkadang- merasa dekat denganmu
Takut jika kehilanganmu
Tidak berani membayangkan pahitnya sebuah cerita

Apa yang aku rasakan sekarang?
Hanya serpihan-serpihan dari lemparan kata-katamu
Lagi-lagi -merasa- takut kehilangan
Padahal kita tidak saling memiliki
Dan aku terlalu takut..

Takut jika dirimu tidak sepertiku
Tidak menerima apa yang telah menjadi keyakinanku
Menjadi kembali kosong dan melupakanku

Cinta??